Al-Habib Al-Qutb Abubakar bin Muhammad Assegaf..

Al-Habib Al-Qutb Abubakar bin Muhammad Assegaf..

Alkisah tentang seorang Imam Al-Qutb yang tunggal dan merupakan kiblat para auliya di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri kokoh dan laksana batu karang yang tegar diterpa samudera seorang yang telah terkumpul dalam dirinya antara Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, beliau adalah Al-Imam Al-Qutb Al-Fard Al-Ghouts Al-Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Al-Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin Segaf Assegaf.

Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke pembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم.

Habib Abubakar dilahirkan di kota Besuki, sebuah kota keci di kabupaten Situbondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285 H/1874 M. Dlm pertumbuhan hidupnya yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau telah wafat. Disaat-saat itu beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan Inayah Ilahi dlm lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda kebaikan dan kewalian.

Konon diceritakan bahwa beliau mampu mengingat segala kejadian yang dialaminya ketika dalam usia tiga tahun dengan secara detail. Hal ini tak lain sebagai isyarat akan kekuatan Ruhaniahnya yang telah siap untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari Rabbnya Yang Maha Mulia.

Pada tahun 1293 H. beliau bersiap untuk melakukan perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, Hadramaut. Kota yang bersinar dengan cahaya para auliya. Perjalanan pertama ini adalah atas permintaan nenek beliau(Ibu dari ayahnya)yaitu seorang wanita salihah Fatimah binti Abdullah Allan. Dengan ditemani seorang yang mulia Syeikh Muhammad Bazmul, beliau pun berangkat meninggalkan kota kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu jauh  sampailah beliau di kota Seiwun. sedang pamannya tercinta Al-Allamah Al-Habib Abdillah bin Umar Assegaf beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangannya.

Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang Al-Allamah yang terpandang di masanya Al-Arif billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Seggaf. Sesampainya di sana Habib Syeikh langsung menyambut seraya memeluk dan menciuminya, tanpa terasa air matapun bercucuran dari kedua matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa yang dilihatnya dari tanda-tanda kewalian di wajah beliau(Habib Abubakar)yang bersinar itu. Demikianlah seorang penyair berkata : "Hati para auliya memiliki mata yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh manusia lainnya". Dengan penuh kasih sayang Habib Syeikh mencurahkan segala perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksimal telah membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abubakar yang baru beranjak dewasa. Bagi Habib Bakar menuntut ilmu adalah segala-galanya dan melalui pamannya Al-Habib Umar beliau mempelajari Ilmu fiqih dan tasawwuf.

Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam beliau dibangunkan untuk shalat tahajjud bersamanya dalam usia yang masih belia. Hal ini sebagai upaya membiasakan "Qiyamul Lail" yang telah menjadi kebiasaan orang-orang mulia di sisi Allah. Hingga apa yang dipelajari Beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah dipraktekkan dalam amaliah kesehariannya.

Rupanya dalam kamus Beliau tak ada istilah kenyang dalam menuntut ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero Hadramaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama dan pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang Al-Arif billah yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di zamannya Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (pengarang سمط الدرر ).Beliau sebagai "Syaikhun Nadzar". (Guru Pemerhati).

Perhatian dari maha gurunya ini telah tertumpahkan pada murid kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang sangat menarik antara Al-Habib Ali dengan salah seorang muridnya yang lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya. Beliau lalu berkata Ingat ada tiga auliya yang nama dan maqamnya sama. Wali yang pertama telah berada di alam barzakh, yakni Al-Habib Qutbul-Mala’ Abubakar bin Abdullah Alaydrus, yang kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, yaitu Al-Habib Al-Quthb Abubakar bin Abdullah Al-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya.

Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah, dalam mimpinya Nabi menuntun seorang anak yang masih kecil sembari berkata kepada orang tersebut, lihatlah aku bawa cucuku yang shaleh Abubakar bin Muhammad Assegaf. Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tak pernah kenal dengan Habib Abubakar sebelumnya. Kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi.

Pada saat ia berjumpa dengan Habib Abubakar Assegaf, Ia pun menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya yang nama, dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut kepada Habib Ali Al-Habsyi. Kiranya tak meleset apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa Ia akan melihat wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan Habib Abubakar Ia pun meninggal dunia. Tak diragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga suatu saat Al-Habib Ali Al-Habsyi menikahkan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di kota Seiwun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung seluruh biaya perkawinannya.

Selain Habib Ali, masih ada lagi yang menjadi "Syaikhut Tarbiah"(Guru pendidiknya) yakni pamannya tercinta Al-Habib Abdillah bin Umar Assegaf.
Adapun yang menjadi "Syaikhut Tasliik" (Guru pembimbingnya) Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi,Surabaya. Sedangkan yang menjadi "Syaikhul Fath" (Guru pembuka hati) adalah Al-wali Al-Mukasyif Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Qutban yang acap kali memberinya kabar gembira dengan mengatakan :
Engkau adalah pewaris maqam kakekmu Umar bin Seggaf.

Beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, mengambil ijazah serta Ilbas dengan berpindah dari pangkuan para auliya dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh kota Hadramaut, Seiwun, Tarim dan sekitarnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari para gu­runya, Beliau pun mulai meninggalkan kota para auliya itu untuk kembali ke tanah Jawa tepatnya pada tahun 1302 H.

Dengan ditemani Al-Arif billah Al-Habib Alwi bin Seggaf Assegaf (dimakamkan di Pasuruan). Berangkatlah beliau ke Indonesia. Tujuan pertamanya adalah kota kelahirannya Besuki, Jawa timur. Setelah tiga tahun tinggal di sana, Beliau lalu berhijrah ke kota Gresik pada tahun 1305 H dalam usia dua puluh tahun. Dan di kota inilah beliau bermukim. Mengingat usianya yang masih sangat muda, maka kegiatan menuntut Ilmu, Ijazah dan Ilbas masih terus dilakoninya tanpa kenal lelah.

Beliaupun terus menerus berkunjung kepada para auliya dan ulama yang telah menyinari bumi pertiwi ini. Mereka adalah : Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor),Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas (Pekalongan),Al-Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar (wafat Mukalla Hadromaut), Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil), Al-Habib Abubakar bin Umar bin Yahya (Surabaya) dan Al-Habib Muham­mad bin Ahmad Al-Muhdor (Bondowoso).

Pada tahun yang sama tepatnya pada hari Jum’at, telah terjadi sebuah peristiwa yang di luar jangkauan akal manusia dalam diri beliau. Yaitu di saat beliau tengah khusuk mendengarkan seorang khatib yang menyampaikan khutbahnya di atas mimbar, tiba-tiba beliau mendapat lintasan hati Rahmani dan sebuah izin Rabbaniy, ketika itu nuraninya berkata agar beliau segera mengasingkan diri dari manusia sekitarnya. Hatinya pun menjadi lapang untuk melakukan uzlah (kholwat) menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.

Seketika itu juga beliau beranjak meninggalkan Masjid Jami’ langsung menuju rumah, dan sejak saat itu beliau tidak lagi menemui seorang pun dan tidak pula memberi kesempatan orang untuk menemuinya. Hal ini beliau lakukan tiada lain hanya untuk mengabdikan diri dan beribadah kepada Rabbnya yg di cintainya dengan segenap jiwa raganya, dan berlangsung hingga 15 thn lamanya. Hingga tiba izin dari Allah agar beliau keluar dari khalwatnya untuk kembali berinteraksi dengan manusia di sekitarnya serta memberi manfaat dari lautan ilmunya.

Pada saat menjelang keluar dari khalwatnya, beliau disambut oleh gurunya Al-Habib Al-Arif billah Al-Qudwah Muhammad bin Idrus Alhabsyi, seraya berkata : "Aku telah memohon dan bertawajjuh pada Allah selama tiga hari tiga malam berturut turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf". Habib Muhammad lalu menuntunnya keluar dan membawanya berziarah ke makam seorang wali yang tersohor dan menjadi mahkota bagi segala kemuliaan di zamannya, yakni Al-Habib Alwi bin Muhammad Assegaf.

Setelah ziarah, beliau berdua lalu berangkat menuju kota Surabaya ke kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Di tengah- tengah orang-orang yang hadir pada saat itu, berkatalah Al-Habib Muhammad bin Idrus sembari tangannya menunjuk ke arah Habib Abubakar "Ini adalah khazanah dari seluruh khazanah Bani Alawi yang telah kami buka untuk memberi manfaat kepada orang khusus dan umum".

Pasca kejadian tersebut, mulailah Al-Habib Abubakar menetapkan jadwal Qira’ah (pembacaan kitab-kitab salaf) di rumahnya. Dalam waktu yg singkat beliau telah menjadi tumpuan bagi umat di zamannya, bagaikan Ka’bah yang tak pernah sepi dari peziarah yang datang mengunjunginya dari berbagai penjuru dunia. Siapa saja yang datang kepada beliau disertai dgn berbaik sangka, maka ia akan beruntung dengan tercapai segala maksud dan tujuannya dalam waktu yang singkat.

Di Majlis yang diadakannya itu beliau telah mengkhatamkan kitab "Ihya Ulumuddin" sebanyak empat puluh kali. Dan setiap mengkhatamkan, Beliau selalu mengadakan jamuan besar besaran untuk orang yang hadir di majlisnya.
Al-Habib Abubakar dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sirah dan jejak para salafnya, bahkan pada segala adat istiadatnya. Seluruh majlis beliau senantiasa dimakmurkan dengan kajian-kajian ilmiah yang bersumber dari semua kitab karya para salafnya.

Jika kita berbicara tentang Maqam dan kedudukan beliau, maka tak satupun dari para Auliya pada masa beliau yang meragukannya. Beliau telah mencapai tingkatan "Asshiddiqiyyah Kubra" yang telah diisyaratkan sebagai "Sahibul Wtaqt (panglima tertinggi para Auliya di masanya).

Beliau wafat pada hari Ahad malam Senin 17 Dzulhijjah 1376 H, dalam usia 91 tahun.

رب فانفعنا ببركته....😊

Comments