BUAH KETAATAN

BUAH KETAATAN

Suatu ketika ada seorang anak kecil kira² berumur 9 tahun pergi nyantri ke Waliyulloh Guru para Kiai se - Jawa Madura Syaikhona KH  Kholil Bangkalan Madura.

Melihat keadaan bocah kecil ini Kyai Kholil tidak langsung mengajar ngaji karena khawatir tidak kerasan. Sambil menunggu si bocah merasa betah, Kyai Kholil memberi tugas pada si santri kecil ini untuk membersihkan daun mangga yang jatuh dari pohonnya di depan ndalem Kyai Kholil. Si bocah ini menjalankan perintah gurunya dengan senang hati.

Pada suatu malam turunlah hujan begitu lebat, Kyai Kholil keluar dan duduk di teras rumah. Dilihatnya ada seorang anak yang tetap berhujan-hujanan di bawah pohon mangga menjaga daun mangga yang jatuh ke tanah untuk langsung dibersihkan.

Seketika itu Kyai Kholil memanggil anak tersebut, betapa kagetnya Kyai Kholil ternyata dia adalah anak kecil yang diberi tugas membersihkan daun mangga bila ada yang jatuh dari pohonnya itu.
Melihat kejadian tersebut Kyai Kholil berkata kepada si kecil yang bernama Abbas itu,

"Wahai Abbas sekalipun engkau masih kecil belia tapi engkau memiliki ketaatan sungguh² kepada guru. Oleh karena itu cukup untuk kamu ngaji di sini sekarang."

Kyai Kholil bertakbir keras, "Allâhu Akbar... Allâhumma sholli 'alâ Sayyidinâ Muhammad. Pulang...!! Mengajar...!! Ilmunya ditanggung Kholil...!!"

Seketika itu pula Kyai Kholil meminta Abbas kecil menengadah ke langit dengan membuka mulut dan Kyai Kholil meludahi mulut Abbas kecil, maka pulanglah Abbas kecil dengan derai air mata karena tak kuasa meninggalkan guru yang dicintai dengan amanah yang dibanggakannya.

Subhânallah... Jadilah Abbas seorang kyai besar berpengaruh di Banyuwangi dengan santri yang luar biasa hingga sekarang.

Pesantren beliau berada di ujung timur pulau Jawa, namanya Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu, Banyuwangi. Konon, pesantren tersebut berdiri sejak tahun 1891.

Berkat kealimannya, pesantren tersebut tak begitu lama menjadi amat masyhur. Ribuan santri datang untuk berguru atau sekedar mengalap barakah.

Kemasyhuran tersebut tak hanya berada di tlatah Jawa, bahkan tersiar ke pulau sebrang, Sumatra.

Di penghujung dekade 70-an, datanglah seorang santri asal Sumatra. Konon, ia diutus oleh gurunya untuk menimba ilmu kepada Kiai Abbas di Banyuwangi. Berhari-hari, pemuda itu menelusuri jalan. Ia mengambil jalan Pantura. Masuk Banyuwangi lewat alas Baluran.

Awalnya, si santri itu menuju ke pesantrennya Kiai Abbas Canga’an Genteng. Sekitar 20 KM dari pesantren Tugung. Setelah mengetahui kesalahannya, si santri melanjutkan perjalanannya. Menuju Tugung.

Sementara itu, Kiai Abbas yang sudah sepuh itu memanggil seorang santrinya. Beliau memerintahkannya untuk bersiap menyambut tamu dari jauh. Sesampainya di Tugung, santri asal Sumatra itu pun disambut oleh santri yang ditunjuk oleh Kiai Abbas. Lalu, diantar ke ndalem untuk menemui Kiai Abbas.

Dari percakapan awal tersebut, diketahui bahwa, dulu, guru si santri asal Sumatra tersebut adalah teman seperguruan Kiai Abbas. Entah di pesantren Jampes, Pare atau Bangkalan.

Semenjak pertemuan di ndalem Kiai Abbas itu, si santri asal Sumatra itu tak lagi tanpak batang hidungnya di pesantren. Bahkan, sejak awal ia tak terlihat keluar dari ndalem.

Hingga titi mangsa sudah bergulir sekira setahun, santri misterius itu muncul lagi di pesantren. Kini, dengan penampilan berbeda. Dulu, rambutnya pendek, namun saat dia datang lagi, rambutnya sudah gondrong.

Saat kemunculannya kembali itulah, ia disuruh pulang ke Sumatra oleh Kiai Abbas.

“Pulanglah, ilmumu sudah cukup,” tutur Kiai Abbas.

Santri itu pun patuh. Meski tak memiliki bekal sepeserpun, ia pulang ke Sumatra. Sebagaimana pesan dari Kiai Abbas, santri itu naik kereta api dari Stasiun Sempu. Tak jauh dari pesantren Kiai Abbas.

Saat pemeriksaan tiket, santri tersebut tertangkap petugas. Karena kedapatan tak memiliki tiket, ia diturunkan di stasiun berikutnya, di Wadung, Glenmore. Sekitar 30 KM dari Tugung.

Santri itu pun kembali ke Tugung. Mengadu perihal ditolaknya menaiki kereta api oleh petugas kepada Kiai Abbas. Setelah menerima laporan, Kiai Abbas memerintahkan santri tersebut.

“Ikat roda kereta api itu dengan benang,” perintahnya.

Santri itu pun menyanggupi. Ia kembali ke stasiun untuk menjalankan perintah Kiai Abbas. Seutas benang yang ia ambil dari sarungnya yang mulai pudar tenunannya itu, yang dipakai untuk mengikat roda kereta api.

Bi’idznillah, hanya dengan seutas benang sarung itu, kereta api yang berbobot ribuan ton itu mogok. Tak bisa dijalankan. Selama tiga hari para mekanik berjibaku mencari penyebab teknis kemacetan, tak kunjung berhasil. Semua mesin kereta tanpak normal-normal saja.

Saat itu, si masinis kereta menyadari akan sebuah keganjilan pada kemacetan kereta. Ia teringat peristiwa beberapa hari lalu, telah menurunkan seorang penumpang yang tampaknya dari kalangan santri. Mungkin, gara-gara itu, kereta mendapat tulah dan tak bisa bergerak.

Saat itu pun, para kru kereta api mencari santri yang diturunkan beberapa hari lalu itu. Santri yang tak lain pemuda asal Sumatra itu, akhirnya ditemukan oleh petugas di pesantrennya Kiai Abbas.

Santri itu pun dipersilakan untuk naik kereta dengan gratis asal bisa memperbaiki kereta api yang macet itu. Santri itu pun berjalan santai mendekati kereta. Kemudian ia berjongkok untuk melepas ikatan benang yang melilit di roda kereta tersebut.

Tak butuh waktu lama, seketika itu pula kereta api yang macet berhari-hari itu, mulai menderu. Siap untuk berangkat.

Sebab kejadian di luar nalar itulah, kepala stasiun Setail Sempu memutuskan untuk menggratiskan tiket kereta bagi semua santrinya Kiai Abbas, Tugung. Selama bertahun-tahun, para santri bisa menikmati kereta dengan gratis. (Ayung)*

*) Cerita dari alumni Pesantren Tugung tahun 70-an. Konon, beliau yang asli Pakistaji ini mengetahui langsung kejadian tersebut.

#Semoga kita mendapat limpahan keberkahan beliau Amiin..

#Foto: Kyai Abbas

Comments