KISAH AYAHANDA DAN BUNDA HABIB UMAR BIN HAFIDZ

KISAH AYAHANDA DAN BUNDA HABIB UMAR BIN HAFIDZ

Tak ada bosannya mendengar cerita orang orang mulia,
Sayyidil Habib Umar Bin Hafidz bercerita tentang ayahnya Habib Muhammad Bin Salim Bin Hafidz dan ibunya, Hubabah Zahra binti Hafidz Al Haddar (dan juga beberapa kisah tambahan dari Habib Ali Al Jufri tentang kedua orang mulia ini) :
Beliau, Hubabah Zahra benar-benar telah menyerap pendidikan sejati Hadramaut dan model seseorang yang mengikuti jalan / tariqat ba alwi. beliau memiliki tanda kesempurnaan sifat dan akhlak manusia dan menunjukkan tauladan kepada orang-orang bagaimana untuk memenuhi peran mereka dalam kehidupan.
Dimasa kecilnya Hababah Zahra banyak mengikuti
pendidikan dari orang shaleh dan sholehah di kota Dammun (di pinggiran Tarim). Sebagai seorang anak ia belajar Al-Qur'an dan dasar-dasar agama. Dan segera setelah itu beliau melanjutkan untuk mengajar pada sejumlah besar perempuan di kota asalnya, beberapa di antara muridnya masih hidup hingga hari ini. Selain itu beliau banyak membaca Alquran dan adzkar dan melakukan ibadah yang berlimpah.

Pada saat yang sama beliau tetap melayani dan membantu keluarganya. Ibunya selalu memberi tugas yang tepat untuk seorang gadis diusianya, seperti menyampaikan pesan kepada orang-orang. Beliau juga belajar bagaimana menjalankan urusan rumah dengan cara yang terbaik dalam semangat selalu merasa puas dengan apa pun yang tersedia dan menerima apa adanya.
Di usia dini beliau sudah dihormati umat Islam pada umumnya, orang tua dan orang-orang shaleh khususnya. Ia menghormati kerabat dan orang yang lebih tua dari dirinya. Bahkan jika ada orang yang bersalah, dia akan memperlakukan mereka dengan baik.
Hubabah memiliki sifat rendah hati dan pemalu, Ketika dia mendekati usia pernikahan dia hanya akan mengizinkan orang tua dan mahramnya yang boleh melihat wajah dan rambutnya. Bahkan tetangga perempuannya yang berharap untuk melihat sehelai rambut di kepalanya mereka tidak akan mampu melakukannya. Ini adalah tradisi masyarakat tarim dan hadramaut umumnya.
Semua tingkah laku terpuji ada dalam dirinya, itulah sebabnya banyak orang baik dan sholeh yang ingin menikahinya, tapi Allah menghendaki bahwa dia berjodoh dan menikah dengan ayahku, Habib Muhammad bin Salim Bin Hafidz, mereka menikah pada tahun 1357 hijriah (1938m) pada waktu itu usia hubabah 18thn, dan beliau pindah ke rumah yang di bangun ayahku di tarim, rumah yang pada awalnya kecil dan hanya memiliki satu ruangan bersama dapur dan kamar mandi, Mereka hampir tidak memiliki peralatan atau perabotan yang biasanya dimiliki pasangan yang baru menikah. Habib Muhammad hanya memiliki tiga piring, satu panci dan satu sendok, dengan tepi yang penyot dan rusak.
Habib Muhammad terus-menerus terlibat dalam medan dakwah, mengajar dan menghadiri pertemuan (majlis ilmu> setiap hari dan malamnya tidak kurang dari 16 majlis yang dihadirinya) dan hubabah Zahra mengurus rumah dan melayani tamu. (Kesabaran dan kemuliaan akhlaknya bisa terlihat, jika pada siang hari ada murid murid Habib Muhammad, datang belajar di rumah mereka, karena hanya ada satu ruangan, hubabah akan naik menunggu diatas rumah mereka (tempat jemur pakaian) rela tersengat sinar matahari panas bumi hadramaut, demi mendukung amalan suami dan menjaga kehormatan dirinya untuk tidak bertemu dan terlihat oleh tamu tamu suaminya).

Hubabah Zahra sangat menghormati keluarga suaminya baik orang tua dan saudara-saudaranya. Ayah Habib Muhammad, Habib Salim, pernah datang dari Mishtah untuk tinggal bersama mereka. Habib Salim sangat terkesan dengan hubabah setelah melihat hal hal kecil yang dilakukannya, seperti bagaimana bersih dan rapinya dia mencuci dan menyetrika pakaian mertuanya.
Selain mengurus rumah tangga, hubabah selalu menghadiri majlis ilmu.
Habib Muhammad menyusun kitab al-Tadzkirah aI-Hadramiyyah, kitab yang mempelajari semua ilmu agama dengan segala kewajiban yang harus diamalkan kaum perempuan, setiap habib selesai menulis pasal pasal atau bab pada kitab itu beliau selalu tunjukkan pada hubabah, dan kemudian hubabah akan membacakan di dalam majlas kaum hawa atau didepan wanita sholehah seperti putri dari Imam Al Habib Abu Bakar Al Siri, dll.

Setelah setahun menikah mereka dikaruniai anak (habib Ali Masyhur), terlahir thn 1358 (1939), dan setelah itu beliau terus dikaruniai anak (5 putra 3 putri), mengandung, melahirkan dan mengurus banyak anak tidak menghalangi beliau untuk menghadiri majlis ilmu, berdzikir dan sholat malam serta puasa sunnah, contohnya, seperti waktu masuk hari asyura, ada saran untuk membaca surat al-Ikhlas 1,000 x, dia serahkan subhah (tasbih) kepada anak perempuan kecilnya untuk menghitung dan beliau akan membaca sambil menimba air dari sumur, mencuci pakaian dan membakar roti, itulah cara beliau mengisi hari hari dalam hidupnya..
Ketenangan kehidupan rumah tangga yang bahagia di jalan Allah ini setelah lebih dari 30 thn semakin di sayang Allah, Allah mengambil Habib Muhammad secara Syahid ditangan penguasa zholim, penguasa kafir komunis dukungan sovyet, Yaman selatan, beliau di ancam berkali kali untuk menghentikan dakwahnya dijalan Allah, tapi dengan ringan beliau berkata:
"Apa yang akan aku katakan kepada Allah di akhirat kelak ketika Dia bertanya padaku?"

Beliau sempat melakukan haji untuk terakhir kalinya, dan temannya, Sayyid Abdullah bin Hasan al-Jufri, menyarankan dia untuk tetap berada di Hijaz sampai situasi membaik di Hadramaut.
Habib Muhammad menjawab dengan mengatakan:
"Apakah Anda ingin aku untuk meninggalkan pelayanan terhadap agama ini? akan jadi apa masyarakat Tarim jika aku tidak kembali? Para sahabat Nabi ﷺ selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk bisa di karuniai jalan syahid fi sabilillah".

Beliau bersikeras untuk tetap kembali ke lembah yang diberkati di Hadramaut.
Dan Ketika Habib Muhammad akhirnya diculik, tinggallah Hababah Zahra menjalani cobaan itu yang bahkan pegununganpun tidak akan mampu menanggung. Orang Orang tidak berani mengunjunginya di rumah mereka yang selalu diawasi pasukan mata mata pemerintah, jadi hababah menghabiskan hari dan malam hanya bersama Tuhan dan Rasulnya saja. Anak-anaknya masih kecil kecil (Habib Umar baru berusia delapan atau sembilan thn pada waktu itu), tapi hababah berhasil membesarkan mereka sendirian dan dengan baik.
Tahun-tahun berlalu dan tidak ada yang tahu apakah suaminya hidup atau mati. Dia akan mendengar rumor bahwa suaminya dibuang atau berada di tempat tertentu dan anaknya yang tertua Habib Ali Masyhur akan pergi diam-diam di malam hari untuk mencarinya. Bayangkan saja hal-hal ini! Ini bukan hanya cerita-ini sebuah peristiwa nyata yang terjadi! Bayangkan saja bahwa suami Anda telah diculik dan tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau mati. Tidak ada yang tahu apa dan bagaimana keadaannya. Tidak ada yang datang membantu untuk menyediakan makanan dan minuman pada mulut mulut kecil itu. Tidak ada yang berani mengunjungi mereka. Hubabah terpencil di rumahnya sendiri selama bertahun-tahun, tapi dia tetap sabar dan puas dengan keputusan Tuhan-nya. Beliau tidak menurun kualitas ibadahnya dengan cara apa pun. Kesabaran dan ketekunan nya melahirkan banyak buah-buahan yang kita sekarang panen hasilnya. Habib Umar muda meninggalkan Tarim dan hati beliau tetap melekat pada dirinya sampai akhirnya mereka bertemu di Hijaz beberapa tahun kemudian.
(Habib Ali Al Jufri menambahkan bahwa beberapa waktu lalu ada orang yang datang menemuinya, orang itu meminta habib ali untuk menghubungi Habib Umar untuk meminta maaf atas perlakuan mereka terhadap keluarga itu pada waktu lalu, Habib Umar dengan bijak mengatakan bahwa mereka sudah memaafkan orang orang tsb sejak lama).

Habib Umar melanjutkan, itulah bagaimana ibundanya melewati sisa hidupnya, memuja Allah dan Rasul-Nya ﷺ, dan mengikuti jalan pendahulu yang saleh dan agama mereka di atas segalanya. Dan Kami baru saja (setelah hubabah Zahra meninggal) membaca nasihat / wasiat yang di tulis beliau bahwa Di dalamnya ia menasihati kami untuk berpegang teguh pada jalan pendahulu kami, untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang dan untuk mengajak orang-orang dekat ke jalan Allah.

Kepergiannya

Hababah Zahra meninggal di menit menit terakhir hari Senin 21 Sya'ban 1436. Ada perasaan ketenangan dan kedamaian yang menyelimuti janazah dan pada hari-hari berikutnya. Ini merupakan indikasi tingginya peringkat beliau dan merupakan tanda Ridha dan penerimaan Allah. Janazah beliau terasa seperti janazah dari salah satu imam besar dari masa lalu.
Salah satu kerabat kami melihatnya dalam mimpi setelah kematiannya (sebelum dikebumikan). melihatnya sedang berada dengan wanita lain yang tidak dikenal. Kami berpikir dan berkata kepadanya (yang mengalami mimpi) : "Satu-satunya orang yang akan bersama dengan hababah Zahra adalah Fatimah al-Zahra".

Jauh hari sebelum dia meninggal, beliau sudah menunjukkan sebuah tempat di pemakaman Zanbal, dimana beliau ingin dikuburkan. Dari waktu ke waktu ia akan menanyakan apakah ada orang lain yang telah dimakamkan di tempat itu, berharap bahwa tempat belum diambil. Kami pikir itu bukan tempat yang cocok baginya untuk dimakamkan karena beberapa anak kecil telah dimakamkan di daerah yang sama dan itu tidak tampak seperti ada cukup ruang untuk orang dewasa untuk dimakamkan. Setelah dia meninggal, Habib Ali Masyhur pergi untuk memeriksa tempat itu dan Penggali Kubur mengatakan itu adalah tempat yang baik baginya untuk dimakamkan. Dan Ketika ia mulai menggali dan hampir selesai, didasar sana ia menemukan sebuah nisan tua dengan nama 'Fatimah binti Syekh Ibrahim bin Syekh `Abd al-Rahman al-Saqqaf', yang telah meninggal sekitar 600 tahun sebelumnya. Hababah Zahra sepatutnya dimakamkan di makam yang sama, di atas wanita mulia, cucu dari wali besar Syekh `Abd al-Rahman al-Saqqaf.

Semoga Allah mengizinkan keturunannya untuk bersatu dengan nenek moyang mereka dan memungkinkan mereka yang mencintai orang saleh untuk pula bersatu dengan mereka.

اللّهمّ صلِّ على سيّدنا محمّدٍ وآله
وصحْبه وسلِّم

Comments

Popular Posts