Ilmu Kanuragan Kiai As'ad š
š Ilmu Kanuragan Kiai As'ad š
KHR. Asāad Syamsul Arifin bukanlah wali mastur, atau kekasih Allah yang diperintahkan untuk menyembunyikan identitas kewaliannya dari manusia. Kiai berdarah Madura yang lahir di kawasan Syiāib Ali, Mekkah, ini adalah seorang wali masyhur, yakni wali yang oleh Allah diperintah untuk menunjukkan kewaliannya, sebagai media agar manusia yang dihadapinya dapat lebih cepat mengenal Allah.
Sebagaimana kekasih-kekasih Allah yang lain, Kiai Asāad pun, oleh Allah dibekali berbagai karamah, atau kekuatan ilahiah yang didasari kemuliaan rohani di luar logika manusia, yang hanya diberikan Allah kepada orang-orang terkasih-Nya. Dan di antara karamah yang dimiliki Kiai Asāad adalah ilmu kanuragan.
Sejak masih usia anak-anak hingga remaja, Kiai Asāad memang terkenal dengan ilmu yang digemari banyak orang ini. Konon, saat ia sudah menggantikan ayahnya, Kiai Syamsul, sebagai pengasuh pesantren di Sukorejo, banyak santri-santri berdatangan dari berbagai daerah di Nusantara tidak hanya dengan niatan belajar ilmu-ilmu agama Islam kepadanya, tapi juga untuk berguru ilmu-ilmu kanuragan.
Suatu pagi, Kiai Asāad menemui Mahfudz, salah seorang santri kesayangannya. āCong, ayuā noroā engkoā len-jhelenan. (Nak, mari ikut aku jalan-jalan.)ā
āKa kaādimma, Man Toan? (Ke mana, Paman?)ā Mahfudz memberanikan diri bertanya.
āNoroā bheilah. Jheā nya-benynyaā tanya. (Ikut sajalah. Jangan banyak tanya.)ā ucap Kiai Asāad, kepada bocah belasan tahun itu.
Mahfudz, tidak memanggil ākiaiā kepada Kiai Asāad sebagaimana lazimnya santri kepada kiainya. Ia memanggil āpamanā, karena ibunya, Azmaniyyah Jamaluddin, merupakan kakak sepupu Kiai Asāad. Kakek Mahfudz, Jamaluddin, adalah kakak kandung KHR. Syamsul Arifin, Ayah Kiai Asāad.
Kiai Asāad menggenggam pergelangan tangan Mahfudz, sambil terus berjalan ke luar kompleks pesantren, hingga menyusuri jalanan desa Sukorejo yang tak semulus, tak sebesar, dan tak seramai sekarang. Setelah terus berjalan, sampailah keduanya di tengah-tengah hutan. Pondok Pesantren Salafiyyah-Syafiāiyyah, pada saat itu, memang masih dikelilingi hutan belantara. Maklum, karena ketika Kiai Syamsul mendirikannya, ia harus berjuang membabat kawasan hutan perawan yang masih angker dan dipenuhi binatang buas itu, lengkap dengan makhluk-makhluk Allah dari alam
āAmbu, Cong. (Berhenti, Nak.)ā pinta Kiai Asāad, sambil menghentikan langkah, kemudian melepas genggaman tangannya dari pergelangan tangan bocah itu.
āEngghi. (Iya.)ā ucap Mahfudz, yang masih belum tahu akan dibawa ke mana oleh kiai.
āNgabes ka adeā, ye! Abes! (Lihat ke depan, ya! Lihatlah!)ā pinta Kiai Asāad lagi, disusul tepuk tangannya dua kali.
Tepat setelah Kiai Asāad bertepuk tangan dua kali, Mahfudz terbelalak. Seolah sedang bermimpi, ia melihat seluruh pohon-pohon kokoh yang menjulang di hadapannya hingga sejauh matanya memandang perlahan-lahan melengkung, persis sebagaimana orang yang sedang rukuā dalam shalat.
Belum sampai Mahfudz mengeluarkan suara untuk bertanya, atau berkata-kata, tentang apa yang baru saja dilihatnya secara nyata, Kiai Asāad tiba-tiba angkat suara, āAntos, Cong! Ghi taā mare. (Tunggu, Nak! Belum selesai.)ā
Sejurus kemudian, Kiai Asāad menginjak-nginjakkan kaki kanannya dua kali ke bumi. Apa yang terjadi? Tiba-tiba, seluruh pohon-pohon yang melengkung bagai orang rukuā dalam shalat itu pun bangkit, lalu tegak sebagaimana semula, seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Mahfudz, yang sejak tadi terdiam dalam kondisi tetap berdiri, masih belum mampu bersuara. Kini, ia benar-benar berada di dunia antara: antara ketakjuban dan kebingungan, antara pemandangan nyata dan semesta tanya, antara ingin meminta diajari ilmu menekuk pohon-pohon sebagaimana disaksikannya itu dengan ketakzimannya hingga membuat ia tak berani mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan sang guru.
āGhun elmo ngaā jeriya, ghempang, Cong. (Kalau hanya ilmu semacam itu, gampang, Nak.)ā Kiai Asāad memecah keheningan, kemudian melanjutkan, āterro ngabbherre? Ghempang! Maā pas kalaāa ka manoā jheā manossa lebbi molje deri manoā. Terro ajhelena e attas āaeng? Ghempang! Maā pas kalaāa ka jhukoā, jheā manossa lebih molje deri jhukoā. Terro nenggheāe e attas deun? Apa pole, sajen ghempang! Manossa lebih molje etembhang seset. Masaā kalaāa ka seset. Bile bhei engkoā sangghup ngajheri elmo ngaā jeriya ka beān. Sateya keya engkoā bisa, ben paste beān langsung bisa. Tape elmo ngaājeriya ekaghebeye apa? (Kamu ingin terbang? Gampang! Masa kalah pada burung-burung, padahal manusia lebih mulia daripada burung-burung. Ingin berjalan di atas air? Gampang! Masa kalah pada ikan-ikan, padahal manusia lebih mulia daripada ikan-ikan. Ingin bertengger di atas dedaunan? Apalagi, itu tambah gampang! Masa kalah pada capung, padahal manusia lebih mulia daripada capung. Kapan pun, aku sanggup mengajarimu ilmu-ilmu seperti itu. Saat ini juga, bahkan, aku bisa mengajarimu, dan kau pun pasti langsung bisa. Tapi ilmu semacam itu mau dibuat apa?ā tegas Kiai Asāad, seraya menatap bocah itu dengan tatapan kasih sayang.
Kiai Asāad kemudian menggenggam tangan Mahfudz lagi, kemudian berkata dengan suara lirih, namun tetap bertenaga, āCong, elmo se kodhu sare ben beān benni elmo ngaā jeriya, tape elmo beremma abeā se karaddhuwe ka Pangeran. (Nak, ilmu yang perlu kaucari bukan ilmu semacam itu, melainkan ilmu yang membuat dirimu layak diterima Tuhan.)ā
Begitulah. Ilmu kanuragan, bagi Kiai Asāad, bukanlah ilmu jurus-jurus tenaga dalam sebagaimana kita ketahui selama ini, melainkan ilmu-ilmu tauhid, yakni ilmu yang dapat mengenalkan manusia kepada Tuhan, hingga akhirnya Tuhan tidak hanya diketahui, tapi dialami. Pengalaman ilahiah dengan nuansa rohani seperti itulah yang diharapkan Kiai Asāad kepada Mahfudz, juga kepada kita semua, agar sampai kepada-Nya; memperoleh rida-Nya.
Mahfudz, di dalam kisah ini, adalah Muhammad Mahfudz Amiruddin, Ayah saya. Dan kisah ini diceritakan Ayah kepada saya, suatu hari, saat saya ketahuan belajar ilmu silat dan jurus-jurus tenaga dalam kepada seorang kawan, dua puluhan tahun silam.
KHR. Asāad Syamsul Arifin bukanlah wali mastur, atau kekasih Allah yang diperintahkan untuk menyembunyikan identitas kewaliannya dari manusia. Kiai berdarah Madura yang lahir di kawasan Syiāib Ali, Mekkah, ini adalah seorang wali masyhur, yakni wali yang oleh Allah diperintah untuk menunjukkan kewaliannya, sebagai media agar manusia yang dihadapinya dapat lebih cepat mengenal Allah.
Sebagaimana kekasih-kekasih Allah yang lain, Kiai Asāad pun, oleh Allah dibekali berbagai karamah, atau kekuatan ilahiah yang didasari kemuliaan rohani di luar logika manusia, yang hanya diberikan Allah kepada orang-orang terkasih-Nya. Dan di antara karamah yang dimiliki Kiai Asāad adalah ilmu kanuragan.
Sejak masih usia anak-anak hingga remaja, Kiai Asāad memang terkenal dengan ilmu yang digemari banyak orang ini. Konon, saat ia sudah menggantikan ayahnya, Kiai Syamsul, sebagai pengasuh pesantren di Sukorejo, banyak santri-santri berdatangan dari berbagai daerah di Nusantara tidak hanya dengan niatan belajar ilmu-ilmu agama Islam kepadanya, tapi juga untuk berguru ilmu-ilmu kanuragan.
Suatu pagi, Kiai Asāad menemui Mahfudz, salah seorang santri kesayangannya. āCong, ayuā noroā engkoā len-jhelenan. (Nak, mari ikut aku jalan-jalan.)ā
āKa kaādimma, Man Toan? (Ke mana, Paman?)ā Mahfudz memberanikan diri bertanya.
āNoroā bheilah. Jheā nya-benynyaā tanya. (Ikut sajalah. Jangan banyak tanya.)ā ucap Kiai Asāad, kepada bocah belasan tahun itu.
Mahfudz, tidak memanggil ākiaiā kepada Kiai Asāad sebagaimana lazimnya santri kepada kiainya. Ia memanggil āpamanā, karena ibunya, Azmaniyyah Jamaluddin, merupakan kakak sepupu Kiai Asāad. Kakek Mahfudz, Jamaluddin, adalah kakak kandung KHR. Syamsul Arifin, Ayah Kiai Asāad.
Kiai Asāad menggenggam pergelangan tangan Mahfudz, sambil terus berjalan ke luar kompleks pesantren, hingga menyusuri jalanan desa Sukorejo yang tak semulus, tak sebesar, dan tak seramai sekarang. Setelah terus berjalan, sampailah keduanya di tengah-tengah hutan. Pondok Pesantren Salafiyyah-Syafiāiyyah, pada saat itu, memang masih dikelilingi hutan belantara. Maklum, karena ketika Kiai Syamsul mendirikannya, ia harus berjuang membabat kawasan hutan perawan yang masih angker dan dipenuhi binatang buas itu, lengkap dengan makhluk-makhluk Allah dari alam
āAmbu, Cong. (Berhenti, Nak.)ā pinta Kiai Asāad, sambil menghentikan langkah, kemudian melepas genggaman tangannya dari pergelangan tangan bocah itu.
āEngghi. (Iya.)ā ucap Mahfudz, yang masih belum tahu akan dibawa ke mana oleh kiai.
āNgabes ka adeā, ye! Abes! (Lihat ke depan, ya! Lihatlah!)ā pinta Kiai Asāad lagi, disusul tepuk tangannya dua kali.
Tepat setelah Kiai Asāad bertepuk tangan dua kali, Mahfudz terbelalak. Seolah sedang bermimpi, ia melihat seluruh pohon-pohon kokoh yang menjulang di hadapannya hingga sejauh matanya memandang perlahan-lahan melengkung, persis sebagaimana orang yang sedang rukuā dalam shalat.
Belum sampai Mahfudz mengeluarkan suara untuk bertanya, atau berkata-kata, tentang apa yang baru saja dilihatnya secara nyata, Kiai Asāad tiba-tiba angkat suara, āAntos, Cong! Ghi taā mare. (Tunggu, Nak! Belum selesai.)ā
Sejurus kemudian, Kiai Asāad menginjak-nginjakkan kaki kanannya dua kali ke bumi. Apa yang terjadi? Tiba-tiba, seluruh pohon-pohon yang melengkung bagai orang rukuā dalam shalat itu pun bangkit, lalu tegak sebagaimana semula, seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Mahfudz, yang sejak tadi terdiam dalam kondisi tetap berdiri, masih belum mampu bersuara. Kini, ia benar-benar berada di dunia antara: antara ketakjuban dan kebingungan, antara pemandangan nyata dan semesta tanya, antara ingin meminta diajari ilmu menekuk pohon-pohon sebagaimana disaksikannya itu dengan ketakzimannya hingga membuat ia tak berani mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan sang guru.
āGhun elmo ngaā jeriya, ghempang, Cong. (Kalau hanya ilmu semacam itu, gampang, Nak.)ā Kiai Asāad memecah keheningan, kemudian melanjutkan, āterro ngabbherre? Ghempang! Maā pas kalaāa ka manoā jheā manossa lebbi molje deri manoā. Terro ajhelena e attas āaeng? Ghempang! Maā pas kalaāa ka jhukoā, jheā manossa lebih molje deri jhukoā. Terro nenggheāe e attas deun? Apa pole, sajen ghempang! Manossa lebih molje etembhang seset. Masaā kalaāa ka seset. Bile bhei engkoā sangghup ngajheri elmo ngaā jeriya ka beān. Sateya keya engkoā bisa, ben paste beān langsung bisa. Tape elmo ngaājeriya ekaghebeye apa? (Kamu ingin terbang? Gampang! Masa kalah pada burung-burung, padahal manusia lebih mulia daripada burung-burung. Ingin berjalan di atas air? Gampang! Masa kalah pada ikan-ikan, padahal manusia lebih mulia daripada ikan-ikan. Ingin bertengger di atas dedaunan? Apalagi, itu tambah gampang! Masa kalah pada capung, padahal manusia lebih mulia daripada capung. Kapan pun, aku sanggup mengajarimu ilmu-ilmu seperti itu. Saat ini juga, bahkan, aku bisa mengajarimu, dan kau pun pasti langsung bisa. Tapi ilmu semacam itu mau dibuat apa?ā tegas Kiai Asāad, seraya menatap bocah itu dengan tatapan kasih sayang.
Kiai Asāad kemudian menggenggam tangan Mahfudz lagi, kemudian berkata dengan suara lirih, namun tetap bertenaga, āCong, elmo se kodhu sare ben beān benni elmo ngaā jeriya, tape elmo beremma abeā se karaddhuwe ka Pangeran. (Nak, ilmu yang perlu kaucari bukan ilmu semacam itu, melainkan ilmu yang membuat dirimu layak diterima Tuhan.)ā
Begitulah. Ilmu kanuragan, bagi Kiai Asāad, bukanlah ilmu jurus-jurus tenaga dalam sebagaimana kita ketahui selama ini, melainkan ilmu-ilmu tauhid, yakni ilmu yang dapat mengenalkan manusia kepada Tuhan, hingga akhirnya Tuhan tidak hanya diketahui, tapi dialami. Pengalaman ilahiah dengan nuansa rohani seperti itulah yang diharapkan Kiai Asāad kepada Mahfudz, juga kepada kita semua, agar sampai kepada-Nya; memperoleh rida-Nya.
Mahfudz, di dalam kisah ini, adalah Muhammad Mahfudz Amiruddin, Ayah saya. Dan kisah ini diceritakan Ayah kepada saya, suatu hari, saat saya ketahuan belajar ilmu silat dan jurus-jurus tenaga dalam kepada seorang kawan, dua puluhan tahun silam.
Comments