Peran Para Habib Dalam Kemerdekaan Indonesia

Peran Para Habib Dalam Kemerdekaan Indonesia



Kegetolan orang-orang Arab Hadrami dalam ikut memerdekakan Indonesia bisa dimaklumi lantaran mereka sudah merasa bahwa negeri ini sebagai tanah air sendiri. Mereka sangat mencintai dan menghormati orang-orang pribumi seperti keluarga. Lihat saja, bagaimana mereka menyebut orang Indonesia sebagai “akhwal.” Dalam bahasa Arab, “akhwal” berasal dari kata “khal” yang berarti kakak atau adik laki-laki ibu. Bentuk muannats (feminin) dari kata ini adalah “khalah” berarti kakak atau adik perempuan ibu. Jikalau dijamakkan (bentuk plural), maka perkataan ini menjadi “akhwal” yang berarti seluruh kerabat anggota keluarga dari pihak ibu. Kata ini menandakan adanya hubungan kekeluargaan lewat ikatan perkawinan dan ada kalanya sebagai bentuk penghargaan. Bandingkan dengan Belanda yang menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa kuli).

Orang-orang Hadrami telah menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri dan menjadikan penduduk asli sebagai keluarga. Oleh karena itu, mereka menolak ketika Belanda hendak meningkatkan status orang-orang Arab, sebagai usaha untuk menjauhkan mereka dengan pribumi. Selain itu, diskriminasi seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Salah satu proklamator Indonesia, Drs. Muhammad Hatta, mengakui kedekatan orang-orang Arab dengan pribumi. Dalam suratnya kepada A.R Baswedan (keturunan Hadrami) yang waktu itu usai mengikrarkan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab, ia menulis, “Dengan sumpah ini, yang ditepati pula sejak itu dalam perjuangan nasional Indonesia menentang penjajahan sambil ikut dalam organisasi Gapi dan kemudian lagi ikut dalam peperangan kemerdekaan Indonesia dengan laskarnya, dengan memberikan kurban yang tidak sedikit, ternyata bahwa Pemuda Indonesia Keturunan Arab benar-benar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang baru.”

Kemudian Bung Hatta meneruskan tulisannya, “Sebab itu tidak benar apabila warga negara keturunan Arab disejajarkan dengan WNI turunan Cina. Dalam praktek hidup ini, kita alami juga banyak sekali WNI turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya RRC. WN Indonesia keturuan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya.”

Pandangan sang proklamator senada dengan pendapat tokoh bangsa yang lain, Ki Hajar Dewantoro. Dalam sambutannya pada peringatan Hari Kesadaran Bangsa Indonesia Keturunan Arab ke-20 tahun 1954, tokoh pendidikan ini menegaskan bahwa golongan Arab tidak sama dengan golongan keturunan asing yang lain di Indonesia. Lantaran ikatan batin yang sangat kuat inilah Sukarno pernah mencegah Jepang yang waktu itu ingin menumpas orang-orang keturunan Arab. Menjelang kemerdekaan silam, sempat ada wacana dari pihak penjajah Jepang untuk melakukan pembasmian terhadap orang-orang keturunan Arab di Indonesia karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan mereka. Sebelum wacana itu dilangsungkan, Jepang meminta pendapat kepada Sukarno. Dengan halus Sukarno menahan Jepang dengan alasan kala itu masih bulan puasa. Tak lama kemudian Jepang mengalami musibah besar di negerinya dengan jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Wacana keji itu pun akhirnya urung dilaksanakan.

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang menginjakkan kaki di Indonesia. Mereka menyandang gelar syarif atau habib. Harus diakui jasa mereka dalam penyebaran Islam di tanah air sangat besar. Setidaknya ada lima kerajaan Nusantara yang didirikan oleh para habib ini, yakni: Pertama, Kerajaan Perlak di Aceh. Kerajaan ini didirikan pada tahun 225 H atau 840 M oleh Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syhah (keturunan ke-8 Baginda Rasul SAW). Kedua, Kerajaan Siak Riau sejak Sultan ke VII dipimpin oleh Sayid Usman bin Syihabuddin, lalu sultan Siak XII (terakhir) Sayid Syarif Qosim II mempercepat proses kemerdekaan dengan memasukkan kesultanan ke dalam NKRI. Ketiga, Kerajaan Kubu di Kalimantan yang didirikan oleh Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus pada 1199 H atau 1778 M. Pada tahun 1958, Syarif Hasan bin Zein al-Aydrus selaku sultan terakhir memasukkan kesultanan ke dalam NKRI. Keempat,  Kerajaan Pontianak yang didirikan 1194 H atau 1173 M oleh Syarif Abdurrahman Nur Alam bin Habib Husein al-Qadri. Pada tahun 1950, Sultan Hamid II al-Qadri bergabung dengan NKRI. Kelima,  Kerajaan Banten yang didirikan tahun 1568 M oleh Sultan Hasanuddin atas perintah ayahnya, Sunan Gunung Jati. •

Comments

Popular Posts