Mengenal kembali sosok KHR. As'ad Syamsul Arifin dan sekilas perjuangan Beliau
Mengenal kembali sosok KHR. As'ad Syamsul Arifin dan sekilas perjuangan Beliau
Di tahun 1619 M, Kiai Mahalli Nung Tenggi mendirikan pondok pesantren Kembang kuning di desa lancar , kecamatan larangan, kabupaten pamekasn, madura. Dari keturunan pengasuh pesantren kembang kuning ini, yakni kiai ruham dan nyai nur sari (Khotijah) lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ibrahim yang kemudian dikenal dengan nama K.H.R. Syamsul Arifin. dari literatur yang ada diceritakan bahwa keluarga pesantren ini masih keturunan bangsawan dan punya pengaruh besar di madura pada tahun 1841.
Ibunda K.H.R. Syamsul Arifin (Nyai Nur Sari) adalah keturunan Bendoro saut, dalam sejarah kerajaan madura, bindoro saut dikenal sebagai Bupati Sumenep yang bergelar Tumenggung tirtonegoro di tahun 1750-an. Bendoro saut merupakan keturunan pangeran katandur yang merupakan cucu Sunan Kudus.
Ketika usia Raden Ibrahim alias K.H.R. Syamsul Arifin menginjak usia Remaja (sekitar 12 tahun) kiai ruham memondokkan K.H.R. Syamsul Arifin ke pondok pesantren sidogiri. Dipondok pesantren sidogiri inilah K.H.R. Syamsul Arifin menempa ilmunya bahkan pernah menjadi tenaga pengajar. Setelah lama mondok di sidogiri, K.H.R. Syamsul Arifin kemudian pindah ke pondok pesantren langitan tuban. Setelah itu pindah lagi ke pesantren bangkalan dibawah asuhan langsung syaikhona kholil, di pesantren bangkalan inilah K.H.R. Syamsul Arifin mulai menampakkan keistimewaannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di pondok bangkalan. Seperti lazimnya para santri K.H.R. Syamsul Arifin mohon diri untuk pulang kampung. sebelum pulang tak lupa mohon do’a restu sang guru agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, agama, dan selalu mendapat ridha Allah SWT. Setelah pulang kampung, K.H.R. Syamsul Arifin dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang kurang berkenan terhadap orang-orang pesantren, suasana kampung halaman kala itu diwarnai perbuatan-perbuatan maksiat seperti perjudian, sabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya.
K.H.R. Syamsul Arifin yang baru saja keluar dari pesantren, merasa terbebani dosa jika membiarkan perbuatan maksiat terus membudaya. Akhirnya, K.H.R. Syamsul Arifin memutuskan untuk terjun ke arena munkarat itu dengan membawa pesan-pesan agama (berdakwah). Ia paham betul terhadap cara dan sikap yang mesti ditempuh untuk menghadapi para penjahat.
Suatu ketika K.H.R. Syamsul Arifin mendengar ada pesta remongan (semacam pesta para penjudi, garong dan sejenisnya) tidak jauh dari kampungnya. Dengan celurit dan sangkur dipinggang. K.H.R. Syamsul Arifin berjalan menyusuri keramaiaan pengunjung pesta remongan bak seorang jagoan. Ternyata, cara seperti itu cukup berhasil untuk memancing kesombongan mereka. Dan terjadilah bentrok fisik. Namun, setiap terjadi bentrokan, K.H.R. Syamsul Arifin selalu berhasil melumpuhkan kekuatan mereka. Dari sinilah K.H.R. Syamsul Arifin menjadi pemuda yang paling ditakuti para penjahat, sehingga dengan mudah ia melancarkan dakwahnya.
Namun, tindakan nekat itu kemudian didengar ibundanya, Nyai Nur sari (khotijah). Seperti umumnya kaum ibu. Nyai Khotijah pun lantas melarang K.H.R. Syamsul Arifin mengulangi tindakannya yang berisiko tinggi. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, K.H.R. Syamsul Arifin tidak pernah lagi keluar rumah, sampai kemudian ia dikembalikan ke pondok pesantren untuk yang kedua kalinya, yakni kepesantren Sidogiri, Pasuruan. Setelah beberapa tahun di Sidogiri, Syamsul kemudian dimondokkan ke Mekkah untuk menuntut Ilmu Agama disana. Dan kebetulan, kala itu putra mahkota Pondok Sidogiri, kiai Nawawi, juga akan di berangkatkan ke Mekkah untuk tujuan dan maksud yang sama. Maka berangkatlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama kiai Nawawi ke tanah Suci.
Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan kedua santri ini, kecuali penegasan bahwa K.H.R. Syamsul Arifin akhirnya mukim di mekkah sampai 40 tahun lamanya.
Bahkan selama di tanah suci , Syamsul Arifin sempat bertemu seorang gadis asal madura (Bangkalan) bernama Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin—- keluarga dekat Kiai Kholil dan tedak keturunan syekh Syarif Hidayahtullah ,ceribon. Pertemuan disaat musim haji itu. Pada tahun 1890 M (hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan), K.H.R. Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan ini lahir dua anak laki-laki, As’ad dan Abdurrohman.
Kini K.H.R. Syamsul Arifin tidak sendiri lagi. Ia adalah pemimpin keluarga yang mesti bertanggung jawab kepada istri dan kedua anaknya. Naluri kebapakannya mulai tumbuh. Ini terlihat ketika As’ad berumur 6 Tahun, K.H.R. Syamsul Arifin tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke tanah Air, ke pesantren Kembang Kuning, Pamekasan , Madura. K.H.R. Syamsul Arifin ingin mengabdikan dirinya kepada masyarakat tempat ia dilahirkan. Maka, ia beserta istri dan putranya, As’ad, Pulang kampung. Kecuali Abdurrahman yang kala itu, masih berumur 4 tahun dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu maimunah, yang memang mukim di Makkah.
Di kembang kuning, K.H.R. Syamsul Arifin membantu ayahnya mengajar di pondok. Namun belum lama ia menggantikan Ayahnya, isteri tercinta nyai Maimunah jatuh sakit kemudian meninggal. Jenazah almarhum Nyai Mamunah (Ibu kandung As’ad) ini kemudian di makamkan di belakang masjid jami’ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning. K.H.R. Syamsul Arifin kemudian nikah lagi dengan Nyai Siti Syaidah, janda dari kiai Syarkowi— pendiri pondok guluk-guluk Sumenep.
Setelah menetap hampir lima tahun lamanya di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin teringat pesan-pesan gurunya ketika di mekkah salah satu pesan gurunya adalah agar K.H.R. Syamsul Arifin mendirikan sebuah pondok pesantren untuk mengembangkan islam. Pesan itu selalu menghantui K.H.R. Syamsul Arifin. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika kemudian K.H.R. Syamsul Arifin mementa izin kepada ayahandanya (kiai Ruham) untuk merantau ke pulau jawa. Permohonan K.H.R. Syamsul Arifin dikabulkan bahkan mendapatkan restu dari beberapa ulama madura. Kemudian berangkatlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama Nyai Siti Saidah menyebrang ke pulau jawa melalui talang siring madura menuju pelabuhan panarukan situbondo .
Setibanya di panarukan, K.H.R. Syamsul Arifin mengembara ke arah timur hingga bertemu dengan sebuah pesantren di desa sambirampak, situbondo. Di Pondok kiai sambi ini, K.H.R. Syamsul Arifin bermukim agak lama sambil membantu mengajar agama. K.H.R. Syamsul Arifin juga bertemu dengan seorang habib bernama asadullah. Habib ini memberi saran agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekkah, karena untuk memimpin pesantren masih perlu tambahan ilmu. Saran itu diturutinya, kemudian K.H.R. Syamsul Arifin pulang ke kembang kuning untuk pamitan kepada orang tuanya untuk berangkat lagi ke mekkah.
Kepergian K.H.R. Syamsul Arifin ke tanah suci untuk yang kedua kalinya adalah untuk memperdalam ilmu agama. Setelah dianggap cukup, ia kembali lagi ke kembang kuning untuk bertemu sanak familinya. Setelah beberapa hari di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin menyebrang ke situbondo bersama nyai saidah dah K.H.R. As’ad. Setibanya di situbondo , K.H.R. Syamsul Arifin langsung sowan ke pengasuh pondok sambirampak, setelah itu sowan ke kiai nahrawi ,di rumah kiai nahrawi ini K.H.R. Syamsul Arifin bertemu lagi dengan habib asadullah yang menyarankan agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekah dan juga bertemu dengan habib al musawa.
Kemudian kedua habib inilah yang menunjukkan lokasi yang tepat. Namun , baik kiai Asadullah dan habib al musawa sowan dulu kepada kiai abdul alim yang tinggal di wilayah banyuputih. Setelah menemukan lokasi yang tepat, yakni di Suko Beloso yang kemudian dikenal dengan Sukorejo K.H.R. Syamsul Arifin segera membabat hutan untuk mendirikan gubuk dan mushalla. Di tanah sukorejo inilah K.H.R. Syamsul Arifin berjuang (berdakwah) menegakkan agama islam.
Di tahun 1619 M, Kiai Mahalli Nung Tenggi mendirikan pondok pesantren Kembang kuning di desa lancar , kecamatan larangan, kabupaten pamekasn, madura. Dari keturunan pengasuh pesantren kembang kuning ini, yakni kiai ruham dan nyai nur sari (Khotijah) lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ibrahim yang kemudian dikenal dengan nama K.H.R. Syamsul Arifin. dari literatur yang ada diceritakan bahwa keluarga pesantren ini masih keturunan bangsawan dan punya pengaruh besar di madura pada tahun 1841.
Ibunda K.H.R. Syamsul Arifin (Nyai Nur Sari) adalah keturunan Bendoro saut, dalam sejarah kerajaan madura, bindoro saut dikenal sebagai Bupati Sumenep yang bergelar Tumenggung tirtonegoro di tahun 1750-an. Bendoro saut merupakan keturunan pangeran katandur yang merupakan cucu Sunan Kudus.
Ketika usia Raden Ibrahim alias K.H.R. Syamsul Arifin menginjak usia Remaja (sekitar 12 tahun) kiai ruham memondokkan K.H.R. Syamsul Arifin ke pondok pesantren sidogiri. Dipondok pesantren sidogiri inilah K.H.R. Syamsul Arifin menempa ilmunya bahkan pernah menjadi tenaga pengajar. Setelah lama mondok di sidogiri, K.H.R. Syamsul Arifin kemudian pindah ke pondok pesantren langitan tuban. Setelah itu pindah lagi ke pesantren bangkalan dibawah asuhan langsung syaikhona kholil, di pesantren bangkalan inilah K.H.R. Syamsul Arifin mulai menampakkan keistimewaannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di pondok bangkalan. Seperti lazimnya para santri K.H.R. Syamsul Arifin mohon diri untuk pulang kampung. sebelum pulang tak lupa mohon do’a restu sang guru agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, agama, dan selalu mendapat ridha Allah SWT. Setelah pulang kampung, K.H.R. Syamsul Arifin dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang kurang berkenan terhadap orang-orang pesantren, suasana kampung halaman kala itu diwarnai perbuatan-perbuatan maksiat seperti perjudian, sabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya.
K.H.R. Syamsul Arifin yang baru saja keluar dari pesantren, merasa terbebani dosa jika membiarkan perbuatan maksiat terus membudaya. Akhirnya, K.H.R. Syamsul Arifin memutuskan untuk terjun ke arena munkarat itu dengan membawa pesan-pesan agama (berdakwah). Ia paham betul terhadap cara dan sikap yang mesti ditempuh untuk menghadapi para penjahat.
Suatu ketika K.H.R. Syamsul Arifin mendengar ada pesta remongan (semacam pesta para penjudi, garong dan sejenisnya) tidak jauh dari kampungnya. Dengan celurit dan sangkur dipinggang. K.H.R. Syamsul Arifin berjalan menyusuri keramaiaan pengunjung pesta remongan bak seorang jagoan. Ternyata, cara seperti itu cukup berhasil untuk memancing kesombongan mereka. Dan terjadilah bentrok fisik. Namun, setiap terjadi bentrokan, K.H.R. Syamsul Arifin selalu berhasil melumpuhkan kekuatan mereka. Dari sinilah K.H.R. Syamsul Arifin menjadi pemuda yang paling ditakuti para penjahat, sehingga dengan mudah ia melancarkan dakwahnya.
Namun, tindakan nekat itu kemudian didengar ibundanya, Nyai Nur sari (khotijah). Seperti umumnya kaum ibu. Nyai Khotijah pun lantas melarang K.H.R. Syamsul Arifin mengulangi tindakannya yang berisiko tinggi. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, K.H.R. Syamsul Arifin tidak pernah lagi keluar rumah, sampai kemudian ia dikembalikan ke pondok pesantren untuk yang kedua kalinya, yakni kepesantren Sidogiri, Pasuruan. Setelah beberapa tahun di Sidogiri, Syamsul kemudian dimondokkan ke Mekkah untuk menuntut Ilmu Agama disana. Dan kebetulan, kala itu putra mahkota Pondok Sidogiri, kiai Nawawi, juga akan di berangkatkan ke Mekkah untuk tujuan dan maksud yang sama. Maka berangkatlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama kiai Nawawi ke tanah Suci.
Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan kedua santri ini, kecuali penegasan bahwa K.H.R. Syamsul Arifin akhirnya mukim di mekkah sampai 40 tahun lamanya.
Bahkan selama di tanah suci , Syamsul Arifin sempat bertemu seorang gadis asal madura (Bangkalan) bernama Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin—- keluarga dekat Kiai Kholil dan tedak keturunan syekh Syarif Hidayahtullah ,ceribon. Pertemuan disaat musim haji itu. Pada tahun 1890 M (hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan), K.H.R. Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan ini lahir dua anak laki-laki, As’ad dan Abdurrohman.
Kini K.H.R. Syamsul Arifin tidak sendiri lagi. Ia adalah pemimpin keluarga yang mesti bertanggung jawab kepada istri dan kedua anaknya. Naluri kebapakannya mulai tumbuh. Ini terlihat ketika As’ad berumur 6 Tahun, K.H.R. Syamsul Arifin tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke tanah Air, ke pesantren Kembang Kuning, Pamekasan , Madura. K.H.R. Syamsul Arifin ingin mengabdikan dirinya kepada masyarakat tempat ia dilahirkan. Maka, ia beserta istri dan putranya, As’ad, Pulang kampung. Kecuali Abdurrahman yang kala itu, masih berumur 4 tahun dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu maimunah, yang memang mukim di Makkah.
Di kembang kuning, K.H.R. Syamsul Arifin membantu ayahnya mengajar di pondok. Namun belum lama ia menggantikan Ayahnya, isteri tercinta nyai Maimunah jatuh sakit kemudian meninggal. Jenazah almarhum Nyai Mamunah (Ibu kandung As’ad) ini kemudian di makamkan di belakang masjid jami’ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning. K.H.R. Syamsul Arifin kemudian nikah lagi dengan Nyai Siti Syaidah, janda dari kiai Syarkowi— pendiri pondok guluk-guluk Sumenep.
Setelah menetap hampir lima tahun lamanya di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin teringat pesan-pesan gurunya ketika di mekkah salah satu pesan gurunya adalah agar K.H.R. Syamsul Arifin mendirikan sebuah pondok pesantren untuk mengembangkan islam. Pesan itu selalu menghantui K.H.R. Syamsul Arifin. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika kemudian K.H.R. Syamsul Arifin mementa izin kepada ayahandanya (kiai Ruham) untuk merantau ke pulau jawa. Permohonan K.H.R. Syamsul Arifin dikabulkan bahkan mendapatkan restu dari beberapa ulama madura. Kemudian berangkatlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama Nyai Siti Saidah menyebrang ke pulau jawa melalui talang siring madura menuju pelabuhan panarukan situbondo .
Setibanya di panarukan, K.H.R. Syamsul Arifin mengembara ke arah timur hingga bertemu dengan sebuah pesantren di desa sambirampak, situbondo. Di Pondok kiai sambi ini, K.H.R. Syamsul Arifin bermukim agak lama sambil membantu mengajar agama. K.H.R. Syamsul Arifin juga bertemu dengan seorang habib bernama asadullah. Habib ini memberi saran agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekkah, karena untuk memimpin pesantren masih perlu tambahan ilmu. Saran itu diturutinya, kemudian K.H.R. Syamsul Arifin pulang ke kembang kuning untuk pamitan kepada orang tuanya untuk berangkat lagi ke mekkah.
Kepergian K.H.R. Syamsul Arifin ke tanah suci untuk yang kedua kalinya adalah untuk memperdalam ilmu agama. Setelah dianggap cukup, ia kembali lagi ke kembang kuning untuk bertemu sanak familinya. Setelah beberapa hari di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin menyebrang ke situbondo bersama nyai saidah dah K.H.R. As’ad. Setibanya di situbondo , K.H.R. Syamsul Arifin langsung sowan ke pengasuh pondok sambirampak, setelah itu sowan ke kiai nahrawi ,di rumah kiai nahrawi ini K.H.R. Syamsul Arifin bertemu lagi dengan habib asadullah yang menyarankan agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekah dan juga bertemu dengan habib al musawa.
Kemudian kedua habib inilah yang menunjukkan lokasi yang tepat. Namun , baik kiai Asadullah dan habib al musawa sowan dulu kepada kiai abdul alim yang tinggal di wilayah banyuputih. Setelah menemukan lokasi yang tepat, yakni di Suko Beloso yang kemudian dikenal dengan Sukorejo K.H.R. Syamsul Arifin segera membabat hutan untuk mendirikan gubuk dan mushalla. Di tanah sukorejo inilah K.H.R. Syamsul Arifin berjuang (berdakwah) menegakkan agama islam.
Comments